Harga perolehan, historical cost atau harga transaksi merupakan nilai dasar yang diakui dalam pencatatan akuntansi. Pada kesempatan kali ini akuntansidanpajak.com ingin membahas secara detail mengenai prinsip harga perolehan dalam akuntansi, berikut penjelesannya silahkan disimak.

Definisi dan pengertian prinsip harga perolehan atau historical cost

Prinsip ini menyatakan bahwa pencatatan akuntansi untuk aset, utang, modal dan beban yang ditanggung perusahaan harus dicatat sesuai dengan besarnya harga perolehannya. Yang dimaksud dengan harga perolehan adalah harga pertukaran barang dan jasa yang disetujui oleh kedua belah pihak dalam transaksi keuangan, dan terjadinya transaksi itu adalah bebas tidak ada unsur penekanan, paksaan atau maksud-maksud tertentu. Harga pertukaran ini dapat terjadi pada seluruh transaksi dengan pihak ekstern baik yang menyangkut aset, utang, modal, jasa maupun transaksi lainnya.

Prinsip Harga Perolehan Historical Cost dalam Akuntansi

Perinsip harga perolehan sering disebut juga prinsip harga pertukaran, karena jumlah rupiah yang dicatat dalam aset, utang, dan modal adalah harga pertukaran pada saat terjadinya transaksi tanpa memperhatikan perubahan daya beli uang. Maka, prinsip harga perolehan dalam akuntansi juga menggunakan apa yang disebut konsep nilai historis (historical cost). Konsep ini menyatakan bahwa akuntansi hanya mencatat nilai uang pada saat terjadinya transaksi.

Realized and unrealized Gain

Misalnya, perusahaan membeli sebidang tanah dengan harga Rp 500 juta, maka jumlah itulah yang dicatat dalam jurnal atau catatan akuntansi. Mungkin saja, sehari setelah dibeli orang hendak menawar akan membeli tanah itu dengan harga Rp 700 juta. Nilai yang disebut terakhir ini tidak akan mempengaruhi catatan akuntansi, karena angka tersebut tidak muncul dalam transaksi keuangan pada saat tanah dibeli.

Bila terjadi bahwa nilai tanah itu dicatat dengan nilai penawaran terakhirnya, yaitu Rp 700 juta, maka berarti telah dilaporkan suatu laba semu atau laba yang tidak ada realisasinya (unrealized gain). Namun, bila penawaran tersebut diterima, dan tanah itu dijual lagi dengan harga realisasi barulah laba sebesar Rp 200 juta benar-benar terealisasi (realized gain), dan pemilik perusahaan baru dapat mencatat nilai tanah itu sebesar Rp 700 juta dalam catatan akuntansinya.

Penentuan nilai atau harga perolehan yang dihasilkan dalam transaksi perusahaan merupakan hal yang mendasar bagi akuntansi. Dalam pertukaran barang dan jasa antara pembeli dan penjual, kedua pihak akan berupaya untuk mendapatkan harga yang terbaik. Namun dalam catatan akuntansi hanya jumlah yang disepakati secara objektif akan dicatat. Kalau jumlah nilai yang dicatat untuk harta kekayaan itu selalu disesuaikan semata-mata berdasarkan penawaran dan taksitan perolehannya, maka laporan akuntansi akan menjadi tidak stabil dan tidak dapat diandalkan.

Demikianlah pembahasan kali ini mengenai prinsip harga prolehan atau historical cost dalam pencatatan akuntansi, semoga bermanfaa bagi para pembaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Copy This Password *

* Type Or Paste Password Here *